Kamis, 10 Juni 2010

Makalah Pendidikan

PONDOK PESANTREN SEBAGAI SEBUAH SISTEM
PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi tugas :
Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
Ikhsan, M. Ag


DISUSUN OLEH :
Mohammad Nurul Hamim : 108 146


PONDOK PESANTREN SEBAGAI SEBUAH SISTEM
PENDIDIKAN ISLAM
I. PENDAHULUAN
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia yang mempunyai tujuan khusus . Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan .
Dalam konteks reorientasi pesantren dan peningkatan mutu santri, maka gebyar Pospenas yang dimotori Departemen Agama dan beberapa instansi pemerintah terkait di bawah Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat adalah salah satu bentuk upaya ke arah modernisasi dan perluasan peran santri di era global.
Secara sederhana dapat dipersepsikan bahwa Pospenas diharapkan mendorong para santri pondok pesantren agar mampu membentuk dirinya menjadi manusia paripurna (insan kamil). Dan yang juga penting adalah lewat Pospenas timbul etos ukhuwwah islamiyyah tanpa menimbang suku, ras, dan warna kulit. Semuanya membaur, menyatu, dan bahu-membahu dalam semangat kompetitif yang menjunjung tinggi sportivitas.
Selama ini, masih ada beberapa pihak yang belum dapat memahami korelasi positif antara tugas pokok santri, di satu sisi, dan keberadaan ragam olah jasmani dan ekspresi seni, pada sisi yang lain. Tegasnya, terkadang orang membuat dikotomisasi antara pergulatan spiritual dan intelektual keagamaan kaum santri di kobong-kobong (gubug asrama) dengan hiruk-pikuk dan gegap-gempitanya pentas seni budaya serta riuhnya tepuk sorai penonton olah raga. Dua hal tersebut dianggap sebagai sebuah kontradiksi. Padahal, untuk meraih puncak spiritualitas dan ketajaman intelektual diperlukan kondisi fisik yang prima dengan berolah raga (al-‘aql al-sâlim fi al-jismi al-sâlim).
Di samping itu, salah satu prasyarat manusia paripurna adalah memiliki kehalusan cipta, rasa, dan karsa. Tidak semua orang dapat memiliki ketiga komponen tersebut, kecuali mereka yang bergelut dan selalu mengasah rasa lewat sentuhan-sentuhan lembut dan indah dari pelbagai ragam kesenian. Dalam arti kata lain, aroma seni diyakini dapat memicu terbentuknya kehalusan rasa dan kepekaan nurani.
Hanya saja, ketika seni dan olah raga dikompetisikan, maka keduanya menjadi hal yang menjebak dan penuh godaan. Apalagi ketika aroma kepentingan politis dan ambisi-ambisi pribadi menyeruak, maka salah-salah pelbagai tujuan luhur menjadi absurd. Yang lahir justru benturan dan permusuhan yang kontraproduktif .
Pendidikan agama islam berarti lembaga atau sekolah Islam yang terdiri dari tingkat Taman Kanak-kanak (Bustanul Athfal/ Raud;atul Athfal), SLTP (Tsanawiyah), SLTA (Aliyah) negeri atau swasta, termasuk Madrasah Ibtidaiyah dan kermudian muncul berbagai kelompok pengajian semacam majlis Ta’lim dan Taman pendidikan AL-qur’an (TPQ) secara menjamur .
Demikian halnya dalam pendidikan Islam yang di dalamnya memuat esensi dari pembentukan manusia yang sempurna. Sebagaimana pendapat dari Imam Ghazali yang menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan Islam adalah kesempurnaan manusia yang berujung taqarrubi (mendekatkan diri) kepada Allah dan kesempurnaan manusia yang berujung kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menurut Quraisy Shihab bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membina manusia supaya menjadi khalifah di muka bumi untuk membangun dunia sesuai dengan konsep taqwa. Oleh karena itu manusia harus mempunyai pegangan ilmu dan akhlakul karimah.
Berdasarkan pemaparan di atas, pemakalah mengambil tema “Pondok Pesantren sebagai Sebuah Sistem Pendidikan Islam”.
II. POKOK BAHASAN
Dari pemaparan di atas pemakalah akan membahas tentang :
1. Pengertian dan unsur-unsur sebuah pesantren
2. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia
3. Sistem Pendidikan Pesantren
4. Problema Pesantren
III. PEMBAHASAN
Dalam bab ini, pemakalah akan membahas tentang pokok bahasan di atas, yaitu:
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Pondok Pesantren
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri . Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut Wahid “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada disana mengalami suatu kondisi totalitas.”
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa . Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren . Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, setelah rumah tangga .
Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
a. Kyai:
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa . Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu:
1. sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta
2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya
3. gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya .
b. Masjid :
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” . Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.
c. Santri:
Santri dalam komunitas pesantren merupakan bagian dari masyarakat sunni yang dapat didefinisikan sebagai mayoritas umat islam yang menerima otoritas sunnah Nabi dan otoritas seluruh seluruh generasi pertama umat Islam, serta validnya kesejarahan komunitas dan mayoritas muslim. Dalam menjaga persatuan, santri mengutamakan kepentingan jamaah alam setiap pengambilan keputusan.
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren .
Kaum santri selama ini dikenal memiliki semangat pejuang, pengabdian, kewiraswastaan dan kesederhanaan. Kegigihan dan kuletan itu tumbuh dari spirit yang dikenal dengan etos atau etika kaum santri. Dengan kapasitas semacam itu maka kaum santri dikenal sebagai moral force (kekuatan moral) yang mampu mendorong tumbuhnya masyarakat harmoni dan sehat.
Persoalan menjadi lain ketika komunitas santri ini masuk jauh kedalam pusaran modernitas dan kehidupan kota yang hedomis, lambat-laun etika yang dimiliki tersebut pudar. Cara berpikir, bersikap dan bertindak lama-kelamaan semakin jauh dengan etika santri sebagaimana semula.Pada mulanya ini dianggap sebagai proses adaptasi yang masih dalam batas kewajaran, sehingga diterima dengan kewajaran. Ternyata perilaku itu semakin lama semakin menyimpang, apalagi ketika menempatkan termasuk kehidupan agama tidak lagi bersifat teosentris (bermuara pada Tuhan), kemudiam membalik dengan kehidupan yang sepenuhnya antroposentris (bertolok ukur pada manusia). Inilah yang disebut dengan humanisme, semangat humanisme itulah yang kemudian melahirkan etika baru dalam kehidupan moldern yang tidak bersendikan lagi pada agama, tetapi pada kemanusiaan, atau lebih tegasnya nafsu dan ambisi manusia. Lalu diarahkan pada hasrat kebendaan dan gaerah kekuasaan.
Humanisme yang mengarah pada harta dan kekuasaan itulah yang menjadikan kaum beragama meninggalkan etika santri dan menggantinya dengan etika humanistis. Dengan dasar itu mereka berusaha mengubah seluruh tafsiran agama atas kepentingan humanisme kebendaan dan kekuasaan. Apalagi setelah berbagai penghargaan yang bertaraf internasional diberikan atas jasanya membuat tafsiran baru atas agama yang sesuai dengan kepentingan pemilik modal, maka semakin kuatlah mereka untuk membalik etika santri yang tak lain adalah etika Islam.
Untuk mendapatkan penghargaan, baik jasa maupun materi, kelompok ini tidak segan memalsukan tafsiran Al-Qur’an, seolah kitab suci ini membolehkan homoseksual, padahal perbuatan itu dikutuk oleh Islam dan semua agama. Lalu kelompok Islam liberal itu juga membela pornografi, padahal jelas dalam Islam sangat menekankan penutupan aurat, sebagai lambang kehormatan seorang manusia. Semua ini dianggap diskriminasi, bahkan dianggap sok bermoral. Kelompok ini mengklaim diri sebagi anti moral, yang dianggap menghambat krativitas. Bukan sok bermoral, tetapi kapanpun setiap muslim berkewajiban menegakkan moralitas Islam, hanya dengan moralitas itulah kehidupan bisa berlangsung. Mereka tidak sadar bahwa amoralitas baik sosial, maupun kesenian adalah candu untuk menjebak agar tidak bisa melihat ketimpangan sosial.
Betapa ironisnya para muslimah yang belum melepas pakain muslimnya itu berdemonstrasi membela pornografi, membela homoseksualitas. Orang boleh saja mencarai popularitas dan kehidupan materi yang lebih sejahtera, tetapi tidak perlu membongkar ajaran dasar agama. Tetapi karena mereka talah terikat oleh humanisme sekuler bahkan ateis, mereka tidak surut dari gerakan itu dan tidak dianggap menyimpang dari agama, malah dianggap memajukannya, apalagi mereka terlanjur terjerat pada agenda moderasi dan pluralisme, agenda yang lagi popular sebagai bungkus berbagai konspirasi politik dan ekonomi yang penuh konflik.
Sikap moderat dan pluralis memang harus dijaga, tetapi tidak boleh diperdagangkan apalagi dijadikan simbol yang sekadar untuk pameran. Bagaimanapun moderatnya kalau tidak punya prinsip, tidak memiliki komitmen pada agama yang dimilikinya, seseorang tidak lagi bisa disebut moderat karena tidak memiliki moralitas apapun. Mereka tidak lebih dari seorang calo, yang memang tidak memiliki apa-apa, hanya menawarkan kekayaan orang lain pada pihak lain.
Melihat kenyataan ini, dengan semakin menjauhnya para aktivis dan intelektual dari etika santri yang menggantinya dengan etika humanistik-ateistik itu, maka perlu ditegaskan kembali etika santri yang memperkenalkan kehidupan yang mengutamakan, pengabdian, perjuangan, kesederhanaan dan kemandirian, baik dalam berpikir, bersikap dan bertindak, agar umat Islam kembali menjadi umat yang berharga tidak hanya menjadi suruhan orang lain untuk merongrong agama dari dalam seperti yang dilakukan kelompok liberal yang hanya mementingkan sanjungan dan kekayaan yang dikendalikan oleh kapitalisme.
Penegakan kembali etika santri ini justru untuk menjaga harmoni kehidupan sosial, kalau kehidupan yang hidonis dan sikap hidup yang pragmatis materialistis ini dibiarkan, maka dengan sendirinya kesenjangan sosial akan terus melebar. Ketika kesenjangan sosial menganga, konflik antar kelompok tidak bias dihindarkan. Dalam kondisi begini, teriakan para aktivis tentang tentang humanisme, tentang toleransi dan moderasi tidak ada gunanya.
Hanya kehidupan yang disemangati pengabdian dan rasa persaudaraan dengan kaum miskin tertidas yang mampu menjadikan kehidupan harmoni dan sejahtera. Inilah etika santri yang perlu ditegakkan kembali untuk mengatasi hedonisme dan prgmatisme yang menyengsarakan manusia, dengan kedok pendewaan manusia .
d. Pondok:
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya . Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan .
e. Kitab-Kitab Islam Klasik:
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.
Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi . Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan .
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama .
Di antara keluhan kelemahan sebagian masyarakat pesantren terhadap eksistensi lembaga ini adalah adanya krisis figur pesanteren itu sendiri. Krisis ini kemungkinan terjadi karena kyai atau nyai yang menjadi figur sentral pesantren memiliki nilai kurang positif di mata santri dan masyarakat, seperti :
a. Dianggap kurang berkualitas keilmuannya,
b. Kurang baik karakternya,
c. Kurang simpatik komunikasi sosialnya,
d. Terlibat dalam wilayah politik praktis dengan berpihak pada salah satu partai dan kurang dekat dengan masyarakat yang mendukung partai lain .
Sebagaimana di sebutkan bahwasannya pesanteren banyak memiliki kekurangan, namun ia tetap memiliki peran yang cukup signifikan di masyarakat. Sayangnya peran pesantren ini bersifat fluktuatif karena beberapa faktor. Diantara nilai positif dan peran strategis pesantren adalah :
1. Pesantren masih di yakini sebagai kiblat bagi umat islam indonesia dalam berbagai hal, termasuk dalam politik.
2. Pendidikan pesantren yang telah melengkapi program pendidikannya di akui mampu memberikan pendidikan integratif dan komprehensif, integrasi ilmu dan moralitas santri. Keunggulan pendidikan pesantren yang sulit di ingkari adalah tidak di batasinya usia peserta didik.
3. Mengutamakan kejujuran (shidq), keikhlasan dan akhlak yang baik dalam proses pembelajaran. Kejujuran menjadi trade mark pesantren.
4. Persaudaraan atau ukhuwwah adalah watak santri dan pesantren. Ajaran ukhuwwah ini sudah diperkenalkan sejak dini dalam sistem pendidikan pesantren dan itu harus terus di tingkatkan serta di ajarkan secara proporsional dan transparan sehingga santri mampu bersaudara dengan orang lain, terutama dengan pihak-pihak yang memiliki pola pemikiran dan pola kehidupan yang berbeda .
B. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Di Indonesia
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah .
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurang adilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak .
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia .
C. Sistem Pendidikan Pesantren
Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama .
Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.
Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).
Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat .
D. Problema Pesantren
Pesantren adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Definisi pesantren sendiri mempunyai pengertian yang bervariasi, tetapi pada hakekatnya mengandung pengertian yang sama. Perkataan pesantren berasal dari bahasa sansekerta yang memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Asal kata san berarti orang baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.
Sementara itu HA Timur Jailani memberikan batasan pesantren adalah gabungan dari berbagai kata pondok dan pesantren, istilah pesantren diangkat dari kata santri yang berarti murid atau santri yang berarti huruf sebab dalam pesantren inilah mula-mula santri mengenal huruf, sedang istilah pondok berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan atau hotel. Akan tetapi pondok di Indonesia khususnya di pulau jawa lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri.
Selanjutnya Zamaksari Dhofir memberikan batasan tentang pondok pesantren yakni sebagai asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal terbuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata funduk atau berarti hotel atau asrama. Perkataan pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri .
Pesantren diakui sebagai model pendidikan awal (Islam) di Indonesia sampai saat ini masih eksis dan mampu mempertahankan kredibilitasnya di masyarakat. Meski demikian, peran pesantren saat ini boleh dikatakan sangat terbatas karena pengelolaannya kurang kredibel dan fasilitas yang di miliki juga apa adanya.
Pengelolaan pesantren yang apa adanya tersebut mudah di lihat dari kurikulum sebagai pesantren yang belum di kembangkan dan di sesuaikan dengan perkembangan Ilmu dan teknologi. Sebagai akibatnya, para alumni pesantren juga sering kali gagap dalam menghadapi tantangan zaman. Sebagai contoh, tatkala ada sebagian alumni pesantren yang menjadi tokok masyarakat atau politisi, mereka seakan gagap menghadapi perannya yang baru karena mereka memang belum atau bahkan tidak mengetahui betul bagaimana “konstruksi politik Islam” dan strategi berpolitik yang di sebut-sebut sebagai politik tingkat tinggi (high politic). Ini du sebabkan karena materi kajian yang di berikan di pesantren kurang dikomtekstualkan dengan perkembangan zaman. Fiqh politik (Fiqh as-syiyasah) belum di berikan secara baik dan terstruktur dalam bangunan kurukulum pesantren .
Bukti lain dari pengelolaan pesantren yang apa adanya adalah keberadaan tenaga pengajar (ustadz) pesantren yang belum di persiapkan secara sistematis sebagai ustadz profesional yang menguasai materi (maddah) dan sekaligus mampu mempratekkan metode dan strategi (thariqah) pembelajaran dengan baik. Padahal Ustadz yang profesional akan mampu memehamkan santri dengan waktu yang singkat dan biaya yang rendah, serta menyenangkan. Idealnya ustadz dipersiapkan secara matang dan di berikan pelatihan yang cukup. Ini barangkali disebabkan karena pesantren masih mengandalkan faktor keikhlasan para ustadz dalam mengajar. Akan tetapi sebenarnya, keikhlasan menjadi kurang nilainya bila ustadz tidak memiliki ketrampilan dalam mengajar karena ia pasti akan mendapatkan kritik dari para santri yang merasa tidak puas dengan metode pembelajaran yang di gunakan oleh ustadz tersebut.
Jaringan sebagian besar pesantren juga lemah, baik jaringan dengan sesama pesantren, masyarakat, pengusaha, maupun pemerintah. Komunikasi yang di lakukan kalangan pesantren kurang intensif dan juga kurang efektif. Selam aini jaringan pesantren secara organisasi di perankan oleh RMI (Rabithah Ma’hadil Islam), namun sayangnya belum berfungsi secara optimal dan masih cenderung bersifat formalitas.
Hal lain yang bisa menjadi bukti rendahnya pengelolaan pembelajaran di pesantren bisa di lihat dari keterbatasan sarana dan prasarana yang dimilkinya. Padahal jika pesantren mampu menyakinkan stake holders bahwa ia mampu menyiapkan santri atau peserta didik yang berkualitas maka pesantren tersebut kan mudah membangun jaringan yang kuat, yang memungkinkan kebutuhannya akan sarana dan prasarana terpenuhi dengan baik. Hal ini sudah terbukti di beberapa pesantren yang sudah maju dan besar. Mereka mampu menggalang dukungan dana dari masyarakat melalui wakaf dan lainnya.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.
Pada zaman walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren .
IV. SIMPULAN
Dari uraian di atas pemakalah menyimpulkan sebagai berikut :
1. Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, setelah rumah tangga yang mempunyai Unsur-unsur penting di dalamnya, yaitu : kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning).
2. Perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa.
3. Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif.
4. Problema pesantren itu termasuk kelemahan-kelemahan yang ada pada pesantren itu sendiri
V. PENUTUP
Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, yang mestinya masih banyak kekurangan. Maka dari itu kritik, saran dan tanggapan dari pembaca sangat kami harapkan.
D A F T A R P U S T A K A
Al-Jumbalati, Ali dan Futuh At-Tuwaanisi, Addul. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Azra, Azyumardi. 2001. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Penerbit Kalimah.
Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES.
Hasyim, Farid. 1998. Visi Pondok Pesantren Dalam Pengembangan SDM: Studi Kasus di Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, UMM: Program Pasca Sarjana, Tesis.
Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Muin, Abd. 2007. Pesantren dan pengembangan Ekonomi Umat. Jakarta: CV Prasasti.
Roqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: LKiS.
Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Thoha, Chabib. 1996. Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar.
Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LkiS.
Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta.
Zuhairini. 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Sumber Media :
Artikel H. Muhammad Jamhuri, Lc MA dalam : http://www.ikdar.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=53
http://ahmadtholabi.wordpress.com/2009/11/05/gebyar-kaum-sarungan/
http://helmidadang.wordpress.com/2010/03/12/makalah-regenerasi-pesantren-untuk-kemajaun-umat/
http://www.ikdar.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=53
http://alqodir.co.id/blog/?p=41
PONDOK PESANTREN SEBAGAI SEBUAH SISTEM
PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi tugas :
Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
Ikhsan, M. Ag

DISUSUN OLEH :
Mohammad Nurul Hamim
NIM : 108 146

PONDOK PESANTREN SEBAGAI SEBUAH SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
I. PENDAHULUAN
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia yang mempunyai tujuan khusus . Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan .
Dalam konteks reorientasi pesantren dan peningkatan mutu santri, maka gebyar Pospenas yang dimotori Departemen Agama dan beberapa instansi pemerintah terkait di bawah Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat adalah salah satu bentuk upaya ke arah modernisasi dan perluasan peran santri di era global.
Secara sederhana dapat dipersepsikan bahwa Pospenas diharapkan mendorong para santri pondok pesantren agar mampu membentuk dirinya menjadi manusia paripurna (insan kamil). Dan yang juga penting adalah lewat Pospenas timbul etos ukhuwwah islamiyyah tanpa menimbang suku, ras, dan warna kulit. Semuanya membaur, menyatu, dan bahu-membahu dalam semangat kompetitif yang menjunjung tinggi sportivitas.
Selama ini, masih ada beberapa pihak yang belum dapat memahami korelasi positif antara tugas pokok santri, di satu sisi, dan keberadaan ragam olah jasmani dan ekspresi seni, pada sisi yang lain. Tegasnya, terkadang orang membuat dikotomisasi antara pergulatan spiritual dan intelektual keagamaan kaum santri di kobong-kobong (gubug asrama) dengan hiruk-pikuk dan gegap-gempitanya pentas seni budaya serta riuhnya tepuk sorai penonton olah raga. Dua hal tersebut dianggap sebagai sebuah kontradiksi. Padahal, untuk meraih puncak spiritualitas dan ketajaman intelektual diperlukan kondisi fisik yang prima dengan berolah raga (al-‘aql al-sâlim fi al-jismi al-sâlim).
Di samping itu, salah satu prasyarat manusia paripurna adalah memiliki kehalusan cipta, rasa, dan karsa. Tidak semua orang dapat memiliki ketiga komponen tersebut, kecuali mereka yang bergelut dan selalu mengasah rasa lewat sentuhan-sentuhan lembut dan indah dari pelbagai ragam kesenian. Dalam arti kata lain, aroma seni diyakini dapat memicu terbentuknya kehalusan rasa dan kepekaan nurani.
Hanya saja, ketika seni dan olah raga dikompetisikan, maka keduanya menjadi hal yang menjebak dan penuh godaan. Apalagi ketika aroma kepentingan politis dan ambisi-ambisi pribadi menyeruak, maka salah-salah pelbagai tujuan luhur menjadi absurd. Yang lahir justru benturan dan permusuhan yang kontraproduktif .
Pendidikan agama islam berarti lembaga atau sekolah Islam yang terdiri dari tingkat Taman Kanak-kanak (Bustanul Athfal/ Raud;atul Athfal), SLTP (Tsanawiyah), SLTA (Aliyah) negeri atau swasta, termasuk Madrasah Ibtidaiyah dan kermudian muncul berbagai kelompok pengajian semacam majlis Ta’lim dan Taman pendidikan AL-qur’an (TPQ) secara menjamur .
Demikian halnya dalam pendidikan Islam yang di dalamnya memuat esensi dari pembentukan manusia yang sempurna. Sebagaimana pendapat dari Imam Ghazali yang menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan Islam adalah kesempurnaan manusia yang berujung taqarrubi (mendekatkan diri) kepada Allah dan kesempurnaan manusia yang berujung kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menurut Quraisy Shihab bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membina manusia supaya menjadi khalifah di muka bumi untuk membangun dunia sesuai dengan konsep taqwa. Oleh karena itu manusia harus mempunyai pegangan ilmu dan akhlakul karimah.
Berdasarkan pemaparan di atas, pemakalah mengambil tema “Pondok Pesantren sebagai Sebuah Sistem Pendidikan Islam”.
II. POKOK BAHASAN
Dari pemaparan di atas pemakalah akan membahas tentang :
1. Pengertian dan unsur-unsur sebuah pesantren
2. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia
3. Sistem Pendidikan Pesantren
4. Problema Pesantren
III. PEMBAHASAN
Dalam bab ini, pemakalah akan membahas tentang pokok bahasan di atas, yaitu:
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Pondok Pesantren
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri . Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut Wahid “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada disana mengalami suatu kondisi totalitas.”
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa . Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren . Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, setelah rumah tangga .
Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
a. Kyai:
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa . Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu:
1. sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta
2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya
3. gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya .
b. Masjid :
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” . Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.
c. Santri:
Santri dalam komunitas pesantren merupakan bagian dari masyarakat sunni yang dapat didefinisikan sebagai mayoritas umat islam yang menerima otoritas sunnah Nabi dan otoritas seluruh seluruh generasi pertama umat Islam, serta validnya kesejarahan komunitas dan mayoritas muslim. Dalam menjaga persatuan, santri mengutamakan kepentingan jamaah alam setiap pengambilan keputusan.
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren .
Kaum santri selama ini dikenal memiliki semangat pejuang, pengabdian, kewiraswastaan dan kesederhanaan. Kegigihan dan kuletan itu tumbuh dari spirit yang dikenal dengan etos atau etika kaum santri. Dengan kapasitas semacam itu maka kaum santri dikenal sebagai moral force (kekuatan moral) yang mampu mendorong tumbuhnya masyarakat harmoni dan sehat.
Persoalan menjadi lain ketika komunitas santri ini masuk jauh kedalam pusaran modernitas dan kehidupan kota yang hedomis, lambat-laun etika yang dimiliki tersebut pudar. Cara berpikir, bersikap dan bertindak lama-kelamaan semakin jauh dengan etika santri sebagaimana semula.Pada mulanya ini dianggap sebagai proses adaptasi yang masih dalam batas kewajaran, sehingga diterima dengan kewajaran. Ternyata perilaku itu semakin lama semakin menyimpang, apalagi ketika menempatkan termasuk kehidupan agama tidak lagi bersifat teosentris (bermuara pada Tuhan), kemudiam membalik dengan kehidupan yang sepenuhnya antroposentris (bertolok ukur pada manusia). Inilah yang disebut dengan humanisme, semangat humanisme itulah yang kemudian melahirkan etika baru dalam kehidupan moldern yang tidak bersendikan lagi pada agama, tetapi pada kemanusiaan, atau lebih tegasnya nafsu dan ambisi manusia. Lalu diarahkan pada hasrat kebendaan dan gaerah kekuasaan.
Humanisme yang mengarah pada harta dan kekuasaan itulah yang menjadikan kaum beragama meninggalkan etika santri dan menggantinya dengan etika humanistis. Dengan dasar itu mereka berusaha mengubah seluruh tafsiran agama atas kepentingan humanisme kebendaan dan kekuasaan. Apalagi setelah berbagai penghargaan yang bertaraf internasional diberikan atas jasanya membuat tafsiran baru atas agama yang sesuai dengan kepentingan pemilik modal, maka semakin kuatlah mereka untuk membalik etika santri yang tak lain adalah etika Islam.
Untuk mendapatkan penghargaan, baik jasa maupun materi, kelompok ini tidak segan memalsukan tafsiran Al-Qur’an, seolah kitab suci ini membolehkan homoseksual, padahal perbuatan itu dikutuk oleh Islam dan semua agama. Lalu kelompok Islam liberal itu juga membela pornografi, padahal jelas dalam Islam sangat menekankan penutupan aurat, sebagai lambang kehormatan seorang manusia. Semua ini dianggap diskriminasi, bahkan dianggap sok bermoral. Kelompok ini mengklaim diri sebagi anti moral, yang dianggap menghambat krativitas. Bukan sok bermoral, tetapi kapanpun setiap muslim berkewajiban menegakkan moralitas Islam, hanya dengan moralitas itulah kehidupan bisa berlangsung. Mereka tidak sadar bahwa amoralitas baik sosial, maupun kesenian adalah candu untuk menjebak agar tidak bisa melihat ketimpangan sosial.
Betapa ironisnya para muslimah yang belum melepas pakain muslimnya itu berdemonstrasi membela pornografi, membela homoseksualitas. Orang boleh saja mencarai popularitas dan kehidupan materi yang lebih sejahtera, tetapi tidak perlu membongkar ajaran dasar agama. Tetapi karena mereka talah terikat oleh humanisme sekuler bahkan ateis, mereka tidak surut dari gerakan itu dan tidak dianggap menyimpang dari agama, malah dianggap memajukannya, apalagi mereka terlanjur terjerat pada agenda moderasi dan pluralisme, agenda yang lagi popular sebagai bungkus berbagai konspirasi politik dan ekonomi yang penuh konflik.
Sikap moderat dan pluralis memang harus dijaga, tetapi tidak boleh diperdagangkan apalagi dijadikan simbol yang sekadar untuk pameran. Bagaimanapun moderatnya kalau tidak punya prinsip, tidak memiliki komitmen pada agama yang dimilikinya, seseorang tidak lagi bisa disebut moderat karena tidak memiliki moralitas apapun. Mereka tidak lebih dari seorang calo, yang memang tidak memiliki apa-apa, hanya menawarkan kekayaan orang lain pada pihak lain.
Melihat kenyataan ini, dengan semakin menjauhnya para aktivis dan intelektual dari etika santri yang menggantinya dengan etika humanistik-ateistik itu, maka perlu ditegaskan kembali etika santri yang memperkenalkan kehidupan yang mengutamakan, pengabdian, perjuangan, kesederhanaan dan kemandirian, baik dalam berpikir, bersikap dan bertindak, agar umat Islam kembali menjadi umat yang berharga tidak hanya menjadi suruhan orang lain untuk merongrong agama dari dalam seperti yang dilakukan kelompok liberal yang hanya mementingkan sanjungan dan kekayaan yang dikendalikan oleh kapitalisme.
Penegakan kembali etika santri ini justru untuk menjaga harmoni kehidupan sosial, kalau kehidupan yang hidonis dan sikap hidup yang pragmatis materialistis ini dibiarkan, maka dengan sendirinya kesenjangan sosial akan terus melebar. Ketika kesenjangan sosial menganga, konflik antar kelompok tidak bias dihindarkan. Dalam kondisi begini, teriakan para aktivis tentang tentang humanisme, tentang toleransi dan moderasi tidak ada gunanya.
Hanya kehidupan yang disemangati pengabdian dan rasa persaudaraan dengan kaum miskin tertidas yang mampu menjadikan kehidupan harmoni dan sejahtera. Inilah etika santri yang perlu ditegakkan kembali untuk mengatasi hedonisme dan prgmatisme yang menyengsarakan manusia, dengan kedok pendewaan manusia .
d. Pondok:
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya . Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan .
e. Kitab-Kitab Islam Klasik:
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.
Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi . Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan .
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama .
Di antara keluhan kelemahan sebagian masyarakat pesantren terhadap eksistensi lembaga ini adalah adanya krisis figur pesanteren itu sendiri. Krisis ini kemungkinan terjadi karena kyai atau nyai yang menjadi figur sentral pesantren memiliki nilai kurang positif di mata santri dan masyarakat, seperti :
a. Dianggap kurang berkualitas keilmuannya,
b. Kurang baik karakternya,
c. Kurang simpatik komunikasi sosialnya,
d. Terlibat dalam wilayah politik praktis dengan berpihak pada salah satu partai dan kurang dekat dengan masyarakat yang mendukung partai lain .
Sebagaimana di sebutkan bahwasannya pesanteren banyak memiliki kekurangan, namun ia tetap memiliki peran yang cukup signifikan di masyarakat. Sayangnya peran pesantren ini bersifat fluktuatif karena beberapa faktor. Diantara nilai positif dan peran strategis pesantren adalah :
1. Pesantren masih di yakini sebagai kiblat bagi umat islam indonesia dalam berbagai hal, termasuk dalam politik.
2. Pendidikan pesantren yang telah melengkapi program pendidikannya di akui mampu memberikan pendidikan integratif dan komprehensif, integrasi ilmu dan moralitas santri. Keunggulan pendidikan pesantren yang sulit di ingkari adalah tidak di batasinya usia peserta didik.
3. Mengutamakan kejujuran (shidq), keikhlasan dan akhlak yang baik dalam proses pembelajaran. Kejujuran menjadi trade mark pesantren.
4. Persaudaraan atau ukhuwwah adalah watak santri dan pesantren. Ajaran ukhuwwah ini sudah diperkenalkan sejak dini dalam sistem pendidikan pesantren dan itu harus terus di tingkatkan serta di ajarkan secara proporsional dan transparan sehingga santri mampu bersaudara dengan orang lain, terutama dengan pihak-pihak yang memiliki pola pemikiran dan pola kehidupan yang berbeda .
B. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Di Indonesia
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah .
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurang adilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak .
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia .
C. Sistem Pendidikan Pesantren
Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama .
Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.
Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).
Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat .
D. Problema Pesantren
Pesantren adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Definisi pesantren sendiri mempunyai pengertian yang bervariasi, tetapi pada hakekatnya mengandung pengertian yang sama. Perkataan pesantren berasal dari bahasa sansekerta yang memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Asal kata san berarti orang baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.
Sementara itu HA Timur Jailani memberikan batasan pesantren adalah gabungan dari berbagai kata pondok dan pesantren, istilah pesantren diangkat dari kata santri yang berarti murid atau santri yang berarti huruf sebab dalam pesantren inilah mula-mula santri mengenal huruf, sedang istilah pondok berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan atau hotel. Akan tetapi pondok di Indonesia khususnya di pulau jawa lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri.
Selanjutnya Zamaksari Dhofir memberikan batasan tentang pondok pesantren yakni sebagai asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal terbuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata funduk atau berarti hotel atau asrama. Perkataan pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri .
Pesantren diakui sebagai model pendidikan awal (Islam) di Indonesia sampai saat ini masih eksis dan mampu mempertahankan kredibilitasnya di masyarakat. Meski demikian, peran pesantren saat ini boleh dikatakan sangat terbatas karena pengelolaannya kurang kredibel dan fasilitas yang di miliki juga apa adanya.
Pengelolaan pesantren yang apa adanya tersebut mudah di lihat dari kurikulum sebagai pesantren yang belum di kembangkan dan di sesuaikan dengan perkembangan Ilmu dan teknologi. Sebagai akibatnya, para alumni pesantren juga sering kali gagap dalam menghadapi tantangan zaman. Sebagai contoh, tatkala ada sebagian alumni pesantren yang menjadi tokok masyarakat atau politisi, mereka seakan gagap menghadapi perannya yang baru karena mereka memang belum atau bahkan tidak mengetahui betul bagaimana “konstruksi politik Islam” dan strategi berpolitik yang di sebut-sebut sebagai politik tingkat tinggi (high politic). Ini du sebabkan karena materi kajian yang di berikan di pesantren kurang dikomtekstualkan dengan perkembangan zaman. Fiqh politik (Fiqh as-syiyasah) belum di berikan secara baik dan terstruktur dalam bangunan kurukulum pesantren .
Bukti lain dari pengelolaan pesantren yang apa adanya adalah keberadaan tenaga pengajar (ustadz) pesantren yang belum di persiapkan secara sistematis sebagai ustadz profesional yang menguasai materi (maddah) dan sekaligus mampu mempratekkan metode dan strategi (thariqah) pembelajaran dengan baik. Padahal Ustadz yang profesional akan mampu memehamkan santri dengan waktu yang singkat dan biaya yang rendah, serta menyenangkan. Idealnya ustadz dipersiapkan secara matang dan di berikan pelatihan yang cukup. Ini barangkali disebabkan karena pesantren masih mengandalkan faktor keikhlasan para ustadz dalam mengajar. Akan tetapi sebenarnya, keikhlasan menjadi kurang nilainya bila ustadz tidak memiliki ketrampilan dalam mengajar karena ia pasti akan mendapatkan kritik dari para santri yang merasa tidak puas dengan metode pembelajaran yang di gunakan oleh ustadz tersebut.
Jaringan sebagian besar pesantren juga lemah, baik jaringan dengan sesama pesantren, masyarakat, pengusaha, maupun pemerintah. Komunikasi yang di lakukan kalangan pesantren kurang intensif dan juga kurang efektif. Selam aini jaringan pesantren secara organisasi di perankan oleh RMI (Rabithah Ma’hadil Islam), namun sayangnya belum berfungsi secara optimal dan masih cenderung bersifat formalitas.
Hal lain yang bisa menjadi bukti rendahnya pengelolaan pembelajaran di pesantren bisa di lihat dari keterbatasan sarana dan prasarana yang dimilkinya. Padahal jika pesantren mampu menyakinkan stake holders bahwa ia mampu menyiapkan santri atau peserta didik yang berkualitas maka pesantren tersebut kan mudah membangun jaringan yang kuat, yang memungkinkan kebutuhannya akan sarana dan prasarana terpenuhi dengan baik. Hal ini sudah terbukti di beberapa pesantren yang sudah maju dan besar. Mereka mampu menggalang dukungan dana dari masyarakat melalui wakaf dan lainnya.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.
Pada zaman walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren .
IV. SIMPULAN
Dari uraian di atas pemakalah menyimpulkan sebagai berikut :
1. Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, setelah rumah tangga yang mempunyai Unsur-unsur penting di dalamnya, yaitu : kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning).
2. Perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa.
3. Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif.
4. Problema pesantren itu termasuk kelemahan-kelemahan yang ada pada pesantren itu sendiri
V. PENUTUP
Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, yang mestinya masih banyak kekurangan. Maka dari itu kritik, saran dan tanggapan dari pembaca sangat kami harapkan.
D A F T A R P U S T A K A
Al-Jumbalati, Ali dan Futuh At-Tuwaanisi, Addul. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Azra, Azyumardi. 2001. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Penerbit Kalimah.
Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES.
Hasyim, Farid. 1998. Visi Pondok Pesantren Dalam Pengembangan SDM: Studi Kasus di Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, UMM: Program Pasca Sarjana, Tesis.
Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Muin, Abd. 2007. Pesantren dan pengembangan Ekonomi Umat. Jakarta: CV Prasasti.
Roqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: LKiS.
Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Thoha, Chabib. 1996. Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar.
Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LkiS.
Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta.
Zuhairini. 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Sumber Media :
Artikel H. Muhammad Jamhuri, Lc MA dalam : http://www.ikdar.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=53
http://ahmadtholabi.wordpress.com/2009/11/05/gebyar-kaum-sarungan/
http://helmidadang.wordpress.com/2010/03/12/makalah-regenerasi-pesantren-untuk-kemajaun-umat/
http://www.ikdar.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=53
http://alqodir.co.id/blog/?p=41

Minggu, 30 Mei 2010

PONDOK PESANTREN SEBAGAI SEBUAH SISTEM
PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH
Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
Ikhsan, M. Ag


DISUSUN OLEH :
Mohammad Nurul Hamim : 108 146

PONDOK PESANTREN SEBAGAI SEBUAH SISTEM
PENDIDIKAN ISLAM
I. PENDAHULUAN
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia yang mempunyai tujuan khusus . Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan .
Dalam konteks reorientasi pesantren dan peningkatan mutu santri, maka gebyar Pospenas yang dimotori Departemen Agama dan beberapa instansi pemerintah terkait di bawah Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat adalah salah satu bentuk upaya ke arah modernisasi dan perluasan peran santri di era global.
Secara sederhana dapat dipersepsikan bahwa Pospenas diharapkan mendorong para santri pondok pesantren agar mampu membentuk dirinya menjadi manusia paripurna (insan kamil). Dan yang juga penting adalah lewat Pospenas timbul etos ukhuwwah islamiyyah tanpa menimbang suku, ras, dan warna kulit. Semuanya membaur, menyatu, dan bahu-membahu dalam semangat kompetitif yang menjunjung tinggi sportivitas.
Selama ini, masih ada beberapa pihak yang belum dapat memahami korelasi positif antara tugas pokok santri, di satu sisi, dan keberadaan ragam olah jasmani dan ekspresi seni, pada sisi yang lain. Tegasnya, terkadang orang membuat dikotomisasi antara pergulatan spiritual dan intelektual keagamaan kaum santri di kobong-kobong (gubug asrama) dengan hiruk-pikuk dan gegap-gempitanya pentas seni budaya serta riuhnya tepuk sorai penonton olah raga. Dua hal tersebut dianggap sebagai sebuah kontradiksi. Padahal, untuk meraih puncak spiritualitas dan ketajaman intelektual diperlukan kondisi fisik yang prima dengan berolah raga (al-‘aql al-sâlim fi al-jismi al-sâlim).
Di samping itu, salah satu prasyarat manusia paripurna adalah memiliki kehalusan cipta, rasa, dan karsa. Tidak semua orang dapat memiliki ketiga komponen tersebut, kecuali mereka yang bergelut dan selalu mengasah rasa lewat sentuhan-sentuhan lembut dan indah dari pelbagai ragam kesenian. Dalam arti kata lain, aroma seni diyakini dapat memicu terbentuknya kehalusan rasa dan kepekaan nurani.
Hanya saja, ketika seni dan olah raga dikompetisikan, maka keduanya menjadi hal yang menjebak dan penuh godaan. Apalagi ketika aroma kepentingan politis dan ambisi-ambisi pribadi menyeruak, maka salah-salah pelbagai tujuan luhur menjadi absurd. Yang lahir justru benturan dan permusuhan yang kontraproduktif .
Pendidikan agama islam berarti lembaga atau sekolah Islam yang terdiri dari tingkat Taman Kanak-kanak (Bustanul Athfal/ Raud;atul Athfal), SLTP (Tsanawiyah), SLTA (Aliyah) negeri atau swasta, termasuk Madrasah Ibtidaiyah dan kermudian muncul berbagai kelompok pengajian semacam majlis Ta’lim dan Taman pendidikan AL-qur’an (TPQ) secara menjamur .
Demikian halnya dalam pendidikan Islam yang di dalamnya memuat esensi dari pembentukan manusia yang sempurna. Sebagaimana pendapat dari Imam Ghazali yang menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan Islam adalah kesempurnaan manusia yang berujung taqarrubi (mendekatkan diri) kepada Allah dan kesempurnaan manusia yang berujung kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menurut Quraisy Shihab bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membina manusia supaya menjadi khalifah di muka bumi untuk membangun dunia sesuai dengan konsep taqwa. Oleh karena itu manusia harus mempunyai pegangan ilmu dan akhlakul karimah.
Berdasarkan pemaparan di atas, pemakalah mengambil tema “Pondok Pesantren sebagai Sebuah Sistem Pendidikan Islam”.
II. POKOK BAHASAN
Dari pemaparan di atas pemakalah akan membahas tentang :
1. Pengertian dan unsur-unsur sebuah pesantren
2. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia
3. Sistem Pendidikan Pesantren
4. Problema Pesantren
III. PEMBAHASAN
Dalam bab ini, pemakalah akan membahas tentang pokok bahasan di atas, yaitu:
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Pondok Pesantren
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri . Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut Wahid “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada disana mengalami suatu kondisi totalitas.”
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa . Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren . Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, setelah rumah tangga .
Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
a. Kyai:
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa . Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu:
1. sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta
2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya
3. gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya .
b. Masjid :
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” . Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.
c. Santri:
dalam komunitas pesantren merupakan bagian dari masyarakat sunni yang dapat didefinisikan sebagai mayoritas umat islam yang menerima otoritas sunnah Nabi dan otoritas seluruh seluruh generasi pertama umat Islam, serta validnya kesejarahan komunitas dan mayoritas muslim. Dalam menjaga persatuan, santri mengutamakan kepentingan jamaah alam setiap pengambilan keputusan.
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren .
Kaum santri selama ini dikenal memiliki semangat pejuang, pengabdian, kewiraswastaan dan kesederhanaan. Kegigihan dan kuletan itu tumbuh dari spirit yang dikenal dengan etos atau etika kaum santri. Dengan kapasitas semacam itu maka kaum santri dikenal sebagai moral force (kekuatan moral) yang mampu mendorong tumbuhnya masyarakat harmoni dan sehat.
Persoalan menjadi lain ketika komunitas santri ini masuk jauh kedalam pusaran modernitas dan kehidupan kota yang hedomis, lambat-laun etika yang dimiliki tersebut pudar. Cara berpikir, bersikap dan bertindak lama-kelamaan semakin jauh dengan etika santri sebagaimana semula.Pada mulanya ini dianggap sebagai proses adaptasi yang masih dalam batas kewajaran, sehingga diterima dengan kewajaran. Ternyata perilaku itu semakin lama semakin menyimpang, apalagi ketika menempatkan termasuk kehidupan agama tidak lagi bersifat teosentris (bermuara pada Tuhan), kemudiam membalik dengan kehidupan yang sepenuhnya antroposentris (bertolok ukur pada manusia). Inilah yang disebut dengan humanisme, semangat humanisme itulah yang kemudian melahirkan etika baru dalam kehidupan moldern yang tidak bersendikan lagi pada agama, tetapi pada kemanusiaan, atau lebih tegasnya nafsu dan ambisi manusia. Lalu diarahkan pada hasrat kebendaan dan gaerah kekuasaan.
Humanisme yang mengarah pada harta dan kekuasaan itulah yang menjadikan kaum beragama meninggalkan etika santri dan menggantinya dengan etika humanistis. Dengan dasar itu mereka berusaha mengubah seluruh tafsiran agama atas kepentingan humanisme kebendaan dan kekuasaan. Apalagi setelah berbagai penghargaan yang bertaraf internasional diberikan atas jasanya membuat tafsiran baru atas agama yang sesuai dengan kepentingan pemilik modal, maka semakin kuatlah mereka untuk membalik etika santri yang tak lain adalah etika Islam.
Untuk mendapatkan penghargaan, baik jasa maupun materi, kelompok ini tidak segan memalsukan tafsiran Al-Qur’an, seolah kitab suci ini membolehkan homoseksual, padahal perbuatan itu dikutuk oleh Islam dan semua agama. Lalu kelompok Islam liberal itu juga membela pornografi, padahal jelas dalam Islam sangat menekankan penutupan aurat, sebagai lambang kehormatan seorang manusia. Semua ini dianggap diskriminasi, bahkan dianggap sok bermoral. Kelompok ini mengklaim diri sebagi anti moral, yang dianggap menghambat krativitas. Bukan sok bermoral, tetapi kapanpun setiap muslim berkewajiban menegakkan moralitas Islam, hanya dengan moralitas itulah kehidupan bisa berlangsung. Mereka tidak sadar bahwa amoralitas baik sosial, maupun kesenian adalah candu untuk menjebak agar tidak bisa melihat ketimpangan sosial.
Betapa ironisnya para muslimah yang belum melepas pakain muslimnya itu berdemonstrasi membela pornografi, membela homoseksualitas. Orang boleh saja mencarai popularitas dan kehidupan materi yang lebih sejahtera, tetapi tidak perlu membongkar ajaran dasar agama. Tetapi karena mereka talah terikat oleh humanisme sekuler bahkan ateis, mereka tidak surut dari gerakan itu dan tidak dianggap menyimpang dari agama, malah dianggap memajukannya, apalagi mereka terlanjur terjerat pada agenda moderasi dan pluralisme, agenda yang lagi popular sebagai bungkus berbagai konspirasi politik dan ekonomi yang penuh konflik.
Sikap moderat dan pluralis memang harus dijaga, tetapi tidak boleh diperdagangkan apalagi dijadikan simbol yang sekadar untuk pameran. Bagaimanapun moderatnya kalau tidak punya prinsip, tidak memiliki komitmen pada agama yang dimilikinya, seseorang tidak lagi bisa disebut moderat karena tidak memiliki moralitas apapun. Mereka tidak lebih dari seorang calo, yang memang tidak memiliki apa-apa, hanya menawarkan kekayaan orang lain pada pihak lain.
Melihat kenyataan ini, dengan semakin menjauhnya para aktivis dan intelektual dari etika santri yang menggantinya dengan etika humanistik-ateistik itu, maka perlu ditegaskan kembali etika santri yang memperkenalkan kehidupan yang mengutamakan, pengabdian, perjuangan, kesederhanaan dan kemandirian, baik dalam berpikir, bersikap dan bertindak, agar umat Islam kembali menjadi umat yang berharga tidak hanya menjadi suruhan orang lain untuk merongrong agama dari dalam seperti yang dilakukan kelompok liberal yang hanya mementingkan sanjungan dan kekayaan yang dikendalikan oleh kapitalisme.
Penegakan kembali etika santri ini justru untuk menjaga harmoni kehidupan sosial, kalau kehidupan yang hidonis dan sikap hidup yang pragmatis materialistis ini dibiarkan, maka dengan sendirinya kesenjangan sosial akan terus melebar. Ketika kesenjangan sosial menganga, konflik antar kelompok tidak bias dihindarkan. Dalam kondisi begini, teriakan para aktivis tentang tentang humanisme, tentang toleransi dan moderasi tidak ada gunanya.
Hanya kehidupan yang disemangati pengabdian dan rasa persaudaraan dengan kaum miskin tertidas yang mampu menjadikan kehidupan harmoni dan sejahtera. Inilah etika santri yang perlu ditegakkan kembali untuk mengatasi hedonisme dan prgmatisme yang menyengsarakan manusia, dengan kedok pendewaan manusia .
d. Pondok:
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya . Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan .
e. Kitab-Kitab Islam Klasik:
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.
Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi . Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan .
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama .
Di antara keluhan kelemahan sebagian masyarakat pesantren terhadap eksistensi lembaga ini adalah adanya krisis figur pesanteren itu sendiri. Krisis ini kemungkinan terjadi karena kyai atau nyai yang menjadi figur sentral pesantren memiliki nilai kurang positif di mata santri dan masyarakat, seperti :
a. Dianggap kurang berkualitas keilmuannya,
b. Kurang baik karakternya,
c. Kurang simpatik komunikasi sosialnya,
d. Terlibat dalam wilayah politik praktis dengan berpihak pada salah satu partai dan kurang dekat dengan masyarakat yang mendukung partai lain .
Sebagaimana di sebutkan bahwasannya pesanteren banyak memiliki kekurangan, namun ia tetap memiliki peran yang cukup signifikan di masyarakat. Sayangnya peran pesantren ini bersifat fluktuatif karena beberapa faktor. Diantara nilai positif dan peran strategis pesantren adalah :
1. Pesantren masih di yakini sebagai kiblat bagi umat islam indonesia dalam berbagai hal, termasuk dalam politik.
2. Pendidikan pesantren yang telah melengkapi program pendidikannya di akui mampu memberikan pendidikan integratif dan komprehensif, integrasi ilmu dan moralitas santri. Keunggulan pendidikan pesantren yang sulit di ingkari adalah tidak di batasinya usia peserta didik.
3. Mengutamakan kejujuran (shidq), keikhlasan dan akhlak yang baik dalam proses pembelajaran. Kejujuran menjadi trade mark pesantren.
4. Persaudaraan atau ukhuwwah adalah watak santri dan pesantren. Ajaran ukhuwwah ini sudah diperkenalkan sejak dini dalam sistem pendidikan pesantren dan itu harus terus di tingkatkan serta di ajarkan secara proporsional dan transparan sehingga santri mampu bersaudara dengan orang lain, terutama dengan pihak-pihak yang memiliki pola pemikiran dan pola kehidupan yang berbeda .
B. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Di Indonesia
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah .
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurang adilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak .
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia .
C. Sistem Pendidikan Pesantren
Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama .
Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.
Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).
Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat .
D. Problema Pesantren
Pesantren adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Definisi pesantren sendiri mempunyai pengertian yang bervariasi, tetapi pada hakekatnya mengandung pengertian yang sama. Perkataan pesantren berasal dari bahasa sansekerta yang memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Asal kata san berarti orang baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.
Sementara itu HA Timur Jailani memberikan batasan pesantren adalah gabungan dari berbagai kata pondok dan pesantren, istilah pesantren diangkat dari kata santri yang berarti murid atau santri yang berarti huruf sebab dalam pesantren inilah mula-mula santri mengenal huruf, sedang istilah pondok berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan atau hotel. Akan tetapi pondok di Indonesia khususnya di pulau jawa lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri.
Selanjutnya Zamaksari Dhofir memberikan batasan tentang pondok pesantren yakni sebagai asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal terbuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata funduk atau berarti hotel atau asrama. Perkataan pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri .
Pesantren diakui sebagai model pendidikan awal (Islam) di Indonesia sampai saat ini masih eksis dan mampu mempertahankan kredibilitasnya di masyarakat. Meski demikian, peran pesantren saat ini boleh dikatakan sangat terbatas karena pengelolaannya kurang kredibel dan fasilitas yang di miliki juga apa adanya.
Pengelolaan pesantren yang apa adanya tersebut mudah di lihat dari kurikulum sebagai pesantren yang belum di kembangkan dan di sesuaikan dengan perkembangan Ilmu dan teknologi. Sebagai akibatnya, para alumni pesantren juga sering kali gagap dalam menghadapi tantangan zaman. Sebagai contoh, tatkala ada sebagian alumni pesantren yang menjadi tokok masyarakat atau politisi, mereka seakan gagap menghadapi perannya yang baru karena mereka memang belum atau bahkan tidak mengetahui betul bagaimana “konstruksi politik Islam” dan strategi berpolitik yang di sebut-sebut sebagai politik tingkat tinggi (high politic). Ini du sebabkan karena materi kajian yang di berikan di pesantren kurang dikomtekstualkan dengan perkembangan zaman. Fiqh politik (Fiqh as-syiyasah) belum di berikan secara baik dan terstruktur dalam bangunan kurukulum pesantren .
Bukti lain dari pengelolaan pesantren yang apa adanya adalah keberadaan tenaga pengajar (ustadz) pesantren yang belum di persiapkan secara sistematis sebagai ustadz profesional yang menguasai materi (maddah) dan sekaligus mampu mempratekkan metode dan strategi (thariqah) pembelajaran dengan baik. Padahal Ustadz yang profesional akan mampu memehamkan santri dengan waktu yang singkat dan biaya yang rendah, serta menyenangkan. Idealnya ustadz dipersiapkan secara matang dan di berikan pelatihan yang cukup. Ini barangkali disebabkan karena pesantren masih mengandalkan faktor keikhlasan para ustadz dalam mengajar. Akan tetapi sebenarnya, keikhlasan menjadi kurang nilainya bila ustadz tidak memiliki ketrampilan dalam mengajar karena ia pasti akan mendapatkan kritik dari para santri yang merasa tidak puas dengan metode pembelajaran yang di gunakan oleh ustadz tersebut.
Jaringan sebagian besar pesantren juga lemah, baik jaringan dengan sesama pesantren, masyarakat, pengusaha, maupun pemerintah. Komunikasi yang di lakukan kalangan pesantren kurang intensif dan juga kurang efektif. Selam aini jaringan pesantren secara organisasi di perankan oleh RMI (Rabithah Ma’hadil Islam), namun sayangnya belum berfungsi secara optimal dan masih cenderung bersifat formalitas.
Hal lain yang bisa menjadi bukti rendahnya pengelolaan pembelajaran di pesantren bisa di lihat dari keterbatasan sarana dan prasarana yang dimilkinya. Padahal jika pesantren mampu menyakinkan stake holders bahwa ia mampu menyiapkan santri atau peserta didik yang berkualitas maka pesantren tersebut kan mudah membangun jaringan yang kuat, yang memungkinkan kebutuhannya akan sarana dan prasarana terpenuhi dengan baik. Hal ini sudah terbukti di beberapa pesantren yang sudah maju dan besar. Mereka mampu menggalang dukungan dana dari masyarakat melalui wakaf dan lainnya.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.
Pada zaman walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren .
IV. SIMPULAN
Dari uraian di atas pemakalah menyimpulkan sebagai berikut :
1. Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, setelah rumah tangga yang mempunyai Unsur-unsur penting di dalamnya, yaitu : kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning).
2. Perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa.
3. Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif.
4. Problema pesantren itu termasuk kelemahan-kelemahan yang ada pada pesantren itu sendiri
V. PENUTUP
Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, yang mestinya masih banyak kekurangan. Maka dari itu kritik, saran dan tanggapan dari pembaca sangat kami harapkan.
D A F T A R P U S T A K A
Al-Jumbalati, Ali dan Futuh At-Tuwaanisi, Addul. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Azra, Azyumardi. 2001. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Penerbit Kalimah.
Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES.
Hasyim, Farid. 1998. Visi Pondok Pesantren Dalam Pengembangan SDM: Studi Kasus di Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, UMM: Program Pasca Sarjana, Tesis.
Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Muin, Abd. 2007. Pesantren dan pengembangan Ekonomi Umat. Jakarta: CV Prasasti.
Roqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: LKiS.
Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Thoha, Chabib. 1996. Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar.
Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LkiS.
Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta.
Zuhairini. 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Sumber Media :
Artikel H. Muhammad Jamhuri, Lc MA dalam : http://www.ikdar.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=53
http://ahmadtholabi.wordpress.com/2009/11/05/gebyar-kaum-sarungan/
http://helmidadang.wordpress.com/2010/03/12/makalah-regenerasi-pesantren-untuk-kemajaun-umat/
http://www.ikdar.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=53
http://alqodir.co.id/blog/?p=41

Rabu, 26 Mei 2010

Makalah Sejarah Peradaban Islam

PERADABAN ISLAM DI ZAMAN KHULAFA AL-RASIDIN
(Perkembangan Islam Era Khulafa Al-Rasyidin)


Makalah


Disusun Guna Memenuhi Tugas:
Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu :
Moh. Rosyid, M. Pd.













Disusun Oleh :
Mohammad Nurul Hamim
108 146

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2010

PERADABAN ISLAM DI ZAMAN KHULAFA AL-RASIDIN
(Perkembangan Islam Era Khulafa Al-Rasyidin)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah adalah suatu rujukan saat kita akan membangun masa depan. Namun, kadang orang malas untuk melihat sejarah. Sehingga orang cenderung berjalan tanpa tujuan dan mungkin mengulangi kesalahan yang pernah ada di masa lalu. Di sinilah sejarah berfungsi sebagai cerminan bahwa di masa silam telah terjadi sebuah kisah yang patut kita pelajari untuk merancang masa depan.
Khulafa al-Rasyidin sebagai sahabat-sahabat yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad pantas dijadikan sebagai rujukan saat kita akan melaksanakan sesuatu di masa kini dan masa depan. Karena peristiwa yang terjadi sungguh beragam, mulai cara pengangkatan khalifah, sistem pemerintahan, pengelolaan administrasi, hubungan sosial kemasyaratan dan lain sebagainya.
Dalam memahami sejarah kita dituntut untuk dapat berpikir kritis. Sebab, sejarah bukanlah sebuah barang mati yang tidak dapat diubah. Akan tetapi sejarah bisa saja diubah kisahnya oleh sang penulis sejarah. Nalar kritis kita dituntut untuk mampu membaca sejarah dan membandingkan dengan pendapat lain. Saat kita sudah mampu untuk menyibak tabir sejarah dari berbagai sumber, barulah kita dapat melakukan rekonstruksi sejarah.
Rekonstruksi sejarah perlu dilakukan agar kita dapat memisahkan antara peradaban Arab dan peradaban Islam. Sebab, kita sering memakan mentah-mentah peradaban yang datang dari Arab, semuanya dianggap sebagai peradaban Islam. Kita perlu memandang peradaban dari berbagai aspeknya. Langkah ini agar kita tidak hanya sekedar ”bangga” dan larut dalam historisisme yang seringkali ”menjebak” pemikiran progressif kita .
Persepsi penulis tentang sejarah adalah menghidupkan kisah yang sudah hilang atau terlupakan. Karena belakangan ini banyak orang yang tidak memperhatikan sejarah. Seperti contoh sejarah yang menerangkan tentang peradaban, kebudayaan, serta pemerintahan di masa Khulafa al-Rasyidin. Yang mana penulis berusaha menjelaskan ulang berdasarkan buku-buku yang di peroleh yaitu tentang politik dan pemerintahan serta kebudayaan dan peradaban yang pada masa Khulafa al-Rasyidin, yang mana pemerintahannya sudah sangat baik dan berkembang, tetapi kalau di lihat dari masa sekarang memang masih ada kesenjangan dan kurang sempurna .
Maka dari pemaparan di atas, makalah ini dibuat judul : Peradaban Islam di zaman Khulafa al-Rasyidin (Perkembangan Islam Era Khulafa al-Rasyidin)
B. Permasalahan
Dari pendahuluan di atas maka pemakalah mengambil permasalahan yang akan dijelaskan di makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana Politik dan Pemerintahan pada masa Khulafa al-Rasyidin?
2. Bagaimana Perkembangan kebudayaan dan peradaban pada Masa Khulafa al-Rasyidin?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Untuk mengetahui praktik politik dan pemerintahan pada masa Khulafa’ al-Rasyidin
2. Untuk memahami kebudayaan dan peradaban perkembangan pada masa Khulafa’ al-Rasyidin.
D. Landasan Konsepsional
Landasan konsepsi dijadikan pijakan oleh penulis dalam makalah ini meliputi perkembangan Politik, pemerintahan, kebudayaan dan pradaban.
a. Perkembangan Politik
Politik Islam yang diajarkan Nabi adalah sistem ”musyawarah”. Segala sesuatu berdasarkan musyawarah termasuk dalam pemilihan kepala negara. Di luar Jazirah Arab berlaku sistem ”monarchi absolut”, yaitu segala sesuatu dalam kekuasaan mutlak raja termasuk dalam penentuan calon pengganti raja .
b. Pemerintahan
Pemerintahan pada masa Rasulullah berbeda dengan masa Khulafa al-Rasyidin, karena setiap pemimpin mempunyai keunggulan-keunggulan dan visi yang berbeda-beda. Tapi pada hakikatnya adalah sama, maksudnya dalam pemerintahan yang di pegang oleh Khulafa al-Rasyidin itu mempunyai tujuan dan versi yang berbeda, tetapi pada intinya adalah memajukan dan mensejahtrakan rakyat beliau sehingga terjadi pemerintahan yang ideal (orang yang mempunyai cita-cita ke arah kemajuan).
c. Kebudayaan
Secara Harfiah ”kebudayaan” berasal dari kata ”budi” dan ”daya” ditambah awalan ”ke” dan akhiran ”an”. Budi berarti akal dan daya berarti kekuatan. Dengan demikian kebudayaan Islam berarti segala sesuatu yang dihasilkan oleh kekuatan akal manusia muslim .
d. Peradaban
Sedangkan peradaban berasal dari kata Arab ”Adab” berarti bernilai tinggi. Dengan demikian peradaban Islam adalah kebudayaan Islam yang bernilai tinggi. Maksudnya, dengan adanya kebudayaan dan peradaban, maka Islam menjadi agama yang yang luhur dan imbasnya menjadi mashur di kalangan umat Islam sedunia. Di samping itu peradaban juga diartikan sebagai sosok bangunan kebudayaan yang sudah mencapai taraf bangunan yang tinggi dan kompleks yang ditandai oleh seni arsitektur yang bergaya megah, taraf perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih .
E. Kajian Pustaka
Pada saat penyusunan makalah ini, penulis baru mendapatkan tiga pokok bahasan yang kajianya sama, yaitu :
Pertama, Dalam bukunya Musyrifah Sunanto yang berjudul : ”Sejarah Islam Klasik”, menjelaskan tentang sejarah Khulafa al-Rasyidin yang mana pada pemerintahan-Nya mengalami beberapa kemajuan baik dari kebudayaan dan politik-politik serta peradaban yang ada pada saat itu.
Penulis beranggapan bahwasannya pemerintahan pada masa Khulafa al-Rasyidin memang sudah sangat baik tetapi pada hakekatnya jika di lihat pada sistem pemerintahan sekarang memang berbeda, karna pemerintahan sekarang sudah sangat modern dan berkembang sehingga pemerintahan pada saat Khulafa al-Rasyidin tidak terlihat berkembang. Marilah kita memandang sejarah Khulafa al-Rasyidin menjadi teladan dan pelajaran bagi kita semua, sehingga dapat memperoleh pengetahuan yang bermanfaat.
Kedua, Menurut Siti Maryam dalam bukunya ”Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Masa Modern” memberikan arti dan sejarah Islam pada masa Rasulullah sampai Khulafa al-Rasyidin beserta peradaban dan kebudayaan pada masa tersebut. Dan Ketiga, Khutbah Jum’at di Masjid Darussalam -Gembong- menjelaskan bahwa dalam perkembangan politik pemerintahan khulafa Ar-rasyidin sudah sangat baik, karena pada masa itu peradaban dan kebudayaan sudah berkembang pesat. Disini penulis menilai bahwasannya pemerintahan pada saat itu sudah Sangat bagus, karena sudah mengalami rekonstruksi sejarah.


BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan ini mengulas peradaban Islam di zaman Khulafa al-Rasyidin ”Perkembangan Islam Era Khulafa al-Rasyidin”. Sejarah Khulafa al-Rasyidin memang sangat menghemparkan dunia baik pada masa dahulu hingga masa sekarang. Buktinya firqoh-firqoh Agama Islam terjadi , dan tak kalah juga pemerintahan Khulafa al-Rasyidin juga sering diikuti oleh pemerintah-pemerintah zaman modern saat ini, walaupun tidak seluruhnya diikuti. Dalam bab ini penulis akan menerangkan secara singkat tentang perkembangan Politik, pemerintahan, serta perkembangan di masa Khulafa al-Rasyidin.
A. Politik dan Pemerintahan Pada masa Khulafa al-Rasyidin
1. Abu Bakar As-Shiddiq (11-3 H/ 632-634 M)
Abu Bakar memangku jabatan Khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung sangat demokratis di muktamar Tsaqifah Bani Sa’idah, memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern saat ini. Kaum Anshar menekankan pada persyaratan jasa (merit), mereka mengajukan calon Sa’ad Ibn Ubadah. Kaum muhajirin menekankan pada persyaratan kesetiaan, mereka mengajukan Abu Ubaidah Ibn Jarrah . Sementara itu Ahlul Bait menginginkan agar Ali Ibn Abi Thalib menjadi khalifah atas dasar kedudukannya dalam Islam, juga sebagai menantu dan karib Nabi. Hampir saja perpecahan terjadi. Melalui perdebatan dengan beradu argumentasi, akhirnya Abu Bakar disetujui oleh jama’ah kaum muslimin untuk menduduki jabatan khalifah.
Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar dihadapkan pada keadaan masyarakat sepeninggal Muhammad SAW. Meski terjadi perbedaan pendapat tentang tindakan yang akan dilakukan dalam menghadapi kesulitan yang memuncak tersebut, kelihatan kebesaran jiwa dan ketabahan batinnya. Seraya bersumpah dengan tegas ia menyatakan akan memerangi semua golongan yang menyimpang dari kebenaran (orang-orang yang murtad, tidak mau membayar zakat dan mengaku diri sebagai Nabi).
Menurut pengamatan penulis, Kekuasaan yang dijalankan pada massa khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasululllah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabatnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengririm kekuatan ke luar Arabia. Khalid Ibn Walid dikirim ke Irak dan dapat menguasai Al-Hiyah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi dibawah pimpinan empat jendral yaitu Abu Ubaidah, Amr Ibn ’Ash, Yazid Ibn Abi Sufyan, dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun .
Persepsi penulis Khalifah Abu Bakar yang diangkat dengan sistem demokrasi langsung dan dia juga Sebagai khalifah sudah sangat demokratis, walaupun pada masa itu masih terjadi perbedaan pendapat antara golongan yang menyimpang dari kebenaran . Dan kekuasaan yang dijalankan pada massa khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasululllah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabatnya bermusyawarah.

2. Umar Ibn Al-Khathab (13-23 H/634-644 M)
Umar Ibn Al-Khathab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui oleh jama’ah kaum muslimin. Pada saat menderita sakit menjelang ajal tiba, Abu Bakar melihat situasi negara masih labil dan pasukan yang sedang bertempur di medan perang tidak boleh terpecah belah akibat perbedaan keinginan tentang siapa yang akan menjadi calon penggantinya, ia memilih Umar Ibn Al-Khathab. Pilihannya ini sudah dimintakan pendapat dan persetujuan para pemuka masyarakat pada saat mereka menengok dirinya sewaktu sakit.
Pada masa kepemimpinan Umar Ibn Al-Khathab, wilayah Islam sudah meliputi jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi dengan begitu cepat, Umar Ibn Al-Khathab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi pemerintahan, dengan diatur menjadi delapan wialayah propinsi : Mekah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir .
Penulis beranggapan bahwasannya pemerintahan Pada masa Umar Ibn Al-Khathab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui oleh jama’ah kaum muslimin. Pada masa pemerintahan Abu Bakar hukum seluruhnya pada khalifah tetapi Umar membuat pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga Yudikatif dengan Eksekutif. Demi lancarnya keamanan dan ketertiban, Jawatan kepolisian dibentuk. Demikian juga jawatan pekerjaan umum
Dalam pemerintahan Umar ada beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga Yudikatif dengan Eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Jawatan kepolisian dibentuk. Demikian juga jawatan pekerjaan umum, Umar Ibn Al-Khathab juga mendirikan Bait al-Mall. Dalam menyelesaikan permasalahan yang berkembang dimayarakat Umar selalu berkomunikasi dengan orang-orang yang memang dianggap mampu dibidangnya.
3. Ustman Ibn Affan (23-35 H/644-656 M)
Ustman Ibn Affan dipilih dan diangkat dari enam orang calon yang diangkat oleh khalifah Umar saat menjelang wafatnya karena pembunuhan. Keenam orang tersebut adalah: Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Saad bin Abu Waqqash, Abd al-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, serta Abdullah bin Umar, putranya, tetapi ”tanpa hak suara”. Umar menempuh cara sendiri yang berbeda dengan cara Abu Bakar. Ia menunjukkan enam orang calon pengganti yang menurutnya dan pengamatan mayoritas kaum muslimin memang pantas menduduki jabatan Khalifah. Oleh sejarawan islam mereka disebut Ahl al-Hall al’aqd pertama dalam islam. merekalah yang bermusyawarah untuk menentukan siapa yang menjadi khalifah. Dalam pemilihan lewat perwakilan tersebut Ustman Ibn Affan mendapatkan suaran lebih banyak, yaitu 3 suara untuk Ali dan 4 suara untuk Ustman Ibn Affan.
Pemerintah khalifah Ustman Ibn Affan mengalami masa kemakmuran dan berhasil dalam beberapa tahun pertama pemerintahannya. Ia melanjutkan kebijakan-kebijakan Khalifah Umar. Pada separuh terakhir masa pemerintahannya, muncul kekecewaaan dan ketidakpuasaan dikalangan masyarakat karena ia mulai mengambil kebijakan yang berbeda dari sebelumnya. Ustman Ibn Affan mengangkat keluarganya (Bani Ummayyah) pada kedudukan yang tinggi. Ia mengadakan penyempurnaan pembagian kekuasaan pemerintahan, Ustman Ibn Affan menekankan sistem kekuasaan pusat yang mengusaai seluruh pendapatan propinsi dan menetapkan seorang juru hitung dari keluarganya sendiri .
Penulis beranggapan bahwasannya pemerintahan Pada Ustman Ibn Affan kekhalifahannya dipilih dan diangkat dari enam orang calon yang diangkat oleh khalifah Umar saat menjelang wafatnya karena pembunuhan. Oleh karna itu pada masa pemerintah khalifah Ustman Ibn Affan mengalami masa kemakmuran dan berhasil dalam beberapa tahun pertama pemerintahannya. Utsman naik menjadi Khalifah dengan sistem perwakilan, atau sekarang lebih dikenal dengan parlemen, sedang Ali naik dengan klaim sepihak dari kelompoknya yang akhirnya kaumnya terpecah belah.
4. Ali Ibn Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Ali Ibn Abi Thalib tampil memegang pucuk kepemimpinan negara di tengah-tengah kericuhan dan huru-hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh kaum pemberontak. Ali Ibn Abi Thalib dipilih dan diangkat oleh jamaah kaum muslimin di Madinah dalam suasana sangat kacau, dengan pertimbangan jika khalifah tidak segera dipilih dan di angkat, maka ditakutkan keadaan semakin kacau. Ali Ibn Abi Thalib di angkat dengan dibaiat oleh masyarakat.
Dalam masa pemerintahannya, Ali Ibn Abi Thalib mengahadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, Ali Ibn Abi Thalib tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut bela’ terhadap daerah Usman yang telah ditumpahkan secara dhalim. Perang ini dikenal dengan nama perang jamal.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Ibn Abi Thalib juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah. Yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaannya. Pertempuran yang terjadi dikenal dengan perang shiffin, perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase) , tapi tahkim ternyata tidak menyelsaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga Al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali).
Dalam hal ini penulis mempunyai persepsi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib sangat kacau, karena firqoh islam muncul. Walaupun pada dasarnya firqoh-firqoh sudah ada sejak zaman Rasulullah.
B. Perkembangan kebudayaan dan pradaban dimasa Khulafa al-Rasyidin
1. Pada Masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
Pada ini kondisi sosial mayarakat menjadi stabil dan dapat mengamankan tanah Arab dari pembangkang dan penyelewengan seperti orang murtad, para nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat.
Selain itu keadaan kaum muslimin menjadi tentram, tidak khawatir lagi beribadah kepada Allah. Perkembangan dagang dan hubungan bersama kaum muslim yang berada di luar Madinah keadaannya terkendali dan terjalin dengan baik. Selain itu juga kemajuan yang dicapai adalah : Pembukuan Al-Qur’an .
2. Pada Masa Khalifah Umar Ibn Al-Khathab
Pada masa khalifah Umar Ibn al-Khathab masalah peradaban dan kebudayaan sudah berkembang dari pada Abu Bakar as-Siddiq, Diantara adalah sebagai berikut:
a. Pemberlakuan Ijtihad
b. Menghapuskan zakat bagi para muallaf
c. Mengahpuskan hukum mut’ah
d. Lahirnya ilmu Qira’at
e. Penyebaran Ilmu Hadits
f. Menempa mata uang dan
g. menciptakan tahun Hijriah
3. Pada Masa Khalifah Ustman Ibn Affan
Diantara perkembangan kebudayaan dan peradaban yang ada pada masa Khalifah Ustman adalah :
a. Penaskhihan Al-Qur’an
b. Perluasan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram
c. Didirikannya masjid Al-Atiq di utara benteng babylon
d. Membangun Pengadilan
e. Membentuk Angkatan Laut
f. Membentuk Departemen:
i Dewan kemiliteran
ii Baitrul Mall
iii Jawatan Pajak
iv Jawatan Pengadilan .
4. Pada Masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib
Diantara perkembangan kebudayaan dan peradaban yang ada pada masa Ali adalah :
a Terciptanya ilmu bahsa/nahwu (Aqidah Nahwiyah)
b Bemkebangnya ilmu Khatt al-Qur’an
c Berkembangnya Sastra .
Menanggapi hal di atas, Akhirnya penulis mengambil beberapa titik point yang berlangsung pada masa khulafa al-Rasyidin, yaitu : Pemerintahan yang berkembang pada pada masa Khulafa’ al-Rasyidin selalu berkembang dan berubah. Sehingga pada masa saat sekarangpun juga mengikuti problema dan modernisasi yang ada. Begitu juga politik yang berlangsung pada masa itu, pasti setiap pemimpin yang berbeda mempunyai visi dan misi yang berbeda, sehingga terjadi pemerintahan yang ideal (maksudnya pemerintahan yang baik menurut pemerintahan pada masa itu). Jadi kita sebagai umat Islam bisa menilai pemerintahan di atas sudah bagus, walaupun berbeda pada pemerintahan pada saat ini.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Simpulan yang dapat penulis ambil dari pemaparan diatas adalah, bahwa dalam sejarah pemerintahan Islam tidak ada satu pun konsep negara Islam. Sebab semuanya tergantung pada situasi dan kondisi yang ada. Seperti Abu Bakar yang diangkat dengan sistem demokrasi langsung, Umar diangkat dengan sistem kerajaan, yaitu Abu Bakar mengangkat langsung Khalifah Umar sebagai pengganti dirinya, Utsman naik menjadi khalifah dengan sistem perwakilan, atau sekarang lebih dikenal dengan parlemen, sedang Ali naik dengan klaim sepihak dari kelompoknya yang akhirnya kaumnya terpecah belah.
B. Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kami berharap semoga dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca khususnya pelajaran bagi saya sendiri .kritik yang membangun sagat kami harapkan, semoga bermanfaat bagi kita semua.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Mohamed Abed. 2004. Problem Peradaban: Penelusuran Atas Jejak Kebudayaan Arab, Islam dan Timur. Yogyakarta: Belukar.
Engineer, Asghar Ali. Devolusi Negara Islam. 2000. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faisal Ismail, 1998. Paradigma Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Titian Ilahi Press
Maryam, Siti dkk (Ed.). 2004. Sejarah Peradaban Islam dari masa klasik hingga masa modern. Yogyakarta: LESFI.
Musyrifah sunanto. 2003. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media..
Rajasa, Sutan. 2002. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Karya Utama.
Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press.
Yatim, Badri. 2006. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sumber dari Media:
Khutbah Jum’at di Masjid Darussalam -Gembong-